CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »
Daisypath Anniversary tickers

Rabu, 06 Juli 2011

Hadiah yang bermanfaat untukku di sepanjang masa :)


Hari ini usiaku bertambah 1 tahun lebih tua, dan ini berarti jatah hidupku didunia ini semakin berkuranng. Ya, memang sepenuhnya usiaku ini belum aku gunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Entah apa yang membuat pagi ini aku bisa bangun lebih pagi, memang aku sadar hari ini adalah hari ulang tahunku ke 17. Ini tandanya aku sudah harus dewasa, banyak anak yang menunggu ulang tahunnya yang ke 17 untuk bisa berpesta-pesta dengan teman-temannya. Wajarlah, mereka orang-orang berduit...
            Seusai sholat subuh aku mencoba keluar dari kamar, diluar ayah dan ibu pun sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Mungkin mereka akan mengucapkan selamat ulang tahun padaku nanti setelah mereka selesai bekerja. Kataku dalam hati.
            Pagi ini aku akan berangkat sekolah lebih pagi, entah apa yang membuatku merasa ingin segera bertemu dengan teman-teman. Kalau teman-teman tahu jika aku hari ini berulang tahun pasti mereka minta ditraktir makan nih. Sedangkan aku? Tidak punya banyak uang untuk mentraktir mereka... Uangku hanya tinggal 5000,00 saja. Ditambah uang saku hari ini mungkin, jika ayah punya uang juga.

***

            Sesampainya disekolah, tidak ada yang memintai aku traktiran. Dan bahkan tak satu pun teman-temanku mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Apa didunia ini tidak ada yang mengingat hari bahagiaku? Jeritku dalam hati. Hello??? Ini seharusnya menjadi hari bahagia bagiku. Tapi tak satu pun orang tahu. Mungkin aku tidak ditakdirkan seperti anak-anak lainnya yang setiap ulang tahun selalu diingat oleh orang-orang terdekatnya. Sepanjang pelajaran aku hanya diam, dan melamun membayangkan suatu keajaiban terjadi dihari ini....

                        “Rah, ngapain kamu melamun begitu?” , tanya Dina teman sebangkuiku.
                        “Tidak apa-apa kok, aku hanya kepikiran sesuatu saja Din.” , jawabku.
                        “Mending mikirinnya entar aja Rah, kalo udah istirahat. Mendingan kamu perhatiin dulu aja pelajarannya Pak Budi kali ini.” , jelas si Dina.
                        “Iya deh, makasih ya sarannya.” Jawabku singkat.

***

            Sepi, sepi, dan sepiiiiiiiiiii. Rasanya aku ingin sekali teriak sekencang-kencangnya! Inginku katakan pada dunia jika aku merasa sepi hari ini. Tak ada satu pun orang yang peduli padaku. Disaat seperti ini apakah aku harus berfikir positif untuk kesekian kalinya??? Percuma saja. Jika memang begini yang terjadi. Rasanya aku ingin pulang saja.

                        “Hay Sarah!” , sapa Dina padaku.
                        “Oh iya, hay juga Dina. Ada apa?” , tanyaku sambil berharap dia akan    mengucapkan selamat ulang tahun padaku.
                        “Aku Cuma mau tanya kok, tadi kamu mengapa kok melamun?” , tanya Dina.
                        “Oh tak apa kok, lupakan saja. Hehe.” , jawabku dengan sedikit kecewa karena apa yang aku harap tidak terjadi.
                        “Hmm yasudah, aku kira ada apa kok sampe melamun begitu kamu mikirinnya.”, kata Dina sambil tersenyum.

            Sepanjang pelajaran kali ini aku tidak lagi melamun, dan berharap agar ada yang mengucapkan ulang tahun padaku. Tapi aku tidak bisa konsen pada pelajaran sejarah kali ini. Tak henti-hentinya aku menatap jam dinding dibelakang kelas, kali ini aku berharap segera pulang. Dan berharap agar ayah dan ibu memberiku ucapan selamat. Karena siang ini kan mereka tidak begitu sibuk dengan pekerjaan mereka.

***

            Sampai dirumah kali ini ayah dan ibuku tidak ada. Bahkan gerabah-gerabah yang mereka kerjakan hanya ditinggal ditempat kerja saja. Mereka pergi kemana? Tanyaku dalam hati. Toko kerajinan milik ayah dan ibu pun tutup. Apa mereka sedang membeli cat untuk keperluan kerja mereka? Entahlah, aku tak tahu pastinya.
            Disekolah sepi, dirumahpun juga sepi. Sedih dan kecewa rasanya... Tapi, harus kecewa pada siapa aku kali ini? Sepertinya memang tidak ada yang salah pada dinamika hariku kali ini. Aku berlari keluar rumah, tak ada arah dan tujuan yang pasti dalam langkahku. Sampai akhirnya aku tertuju pada suatu pohon besar di pojok kebun, yang hanya tumbuh sendiri. Sama seperti aku, hanya sendiri, tak ada yang peduli, dan kesepian. Apakah pohon ini juga merasakan apa yang aku rasakan jika hanya sendiri dan tidak ada yang memperhatikan. Aku merasa sedih siang ini... Air mataku pun jatuh ke tanah, semoga air mataku yang jatuh kali ini bisa diserap oleh akar pohon besar ini sehinga air mataku dapat bermanfaat bagi pohon yang kesepian ini. Kataku sambil tersenyum tipis, karena konyol apa yang aku katakan kali ini.
            Coba saja pohon ini punya mulut, pasti dia akan mengatakan bahwa iya juga merasakan kesepian. Tapi untung saja yang Engkau ciptakan punya mulut hanya para manusia saja. Tapi mulutku terlalu banyak aku gunakan untuk mengeluh, bahkan hanya jarang aku merasa syukur! Seharusnya aku bisa lebih dewasa! Sarah, usiamu sudah 17 tahun. Kamu bukan lagi anak kecil yang bisanya mengeluh dan menangis jika apa yang diinginkan tidak tercapai!!!
            Setelah aku menyadari akan hal itu, mataku pun tak sangup lagi membendung air mata kesedihanku disiang ini. Semua ini harus berbalik! Aku tak mau lagi merasa kesepian, sedih, dan lain lain. Aku harus bisa bahagia, apa pun keadaannya. Aku tak mau terlalu lama terus menerus dalam keterpurukan seperti ini.
            Aku harus bisa seperti ayah dan ibuku, mereka tidak pernah mengeluh didepanku. Walau aku mengerti mereka pasti capek, dan beban untuk menghidupiku. Mereka sering merasa susah untuk bisa melunasi hutang-hutang mereka. Kami memang bukan terlahir sebagai keluarga yang mapan dan banyak harta. Tapi ayah dan ibu selalu menyayangiku dengan tulus... Melebihi harta semahal apa pun. Rasanya mereka adalah harta paling berharga bagiku. Walau hari ini mereka belum mengucapkan selamat ulang tahun padaku, mungin tahun depan mereka akan ingat pada hari bahagiaku ini.

***

            Sudah cukup aku menangis dan curhat pada pohon itu. Aku ingin pulang, aku juga belum sholat duhur. Padahal ini sudah hampir masuk waktu ashar. YaAllah, maafkan hamba-Mu ini hanya karena merasa sedih jadi lupa akan kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan.
            Sudah sore, tapi ayah dan ibu belum juga datang. Lebih baik aku buatkan teh hangat saja untuk mereka, supaya sampai rumah mereka bisa senang.                                              
                        “Asalamualaikum...” , sambil mengetuk pintu.
                        “Walaikumsalam...” , jawabku.
                        “Ayah dan ibu habis dari mana?” , tanyaku sambil memberikan secangkir teh hangat untuk mereka.
                        “Ayah dan ibu hanya inigin pergi mencarikan hadiah untukmu nak” , kata ayah sambil tersenyum padaku.
                        “Maksud ayah apa?” , jawabku bingung.
                        “Selamat ulang tahun ya anakku sayang” , kata ibu sambil memelukku.
                        “Terimakasih ibu!!” , sambil menangis karena bahagia.
                        “Maaf ya nak, ayah tidak bermaksud melupakan hari ulang tahunmu kali ini. Namun tadi pagi ayah dan ibu benar-benar sedang sibuk nak.” , kata ayah.
                        “Iya ayah, Sarah mengerti kok.” , jawabku sambil tersenyum manis.
                        “Ini, Sarah hadiah yang ayah dan ibu kamu mampu belikan untukmu nak” , kata ibu sambil tersenyum.
                        “Makasih banyak ibu, Sarah sungguh tidak berharap ayah dan ibu akan membelikan hadiah untuk Sarah. Bahkan suatu ucapan selamat ulang tahun dari ayah dan ibu pun sudah membuat hati Sarah senang ibu.” , jawabku dengan halus.
                        “Sungguh nak? Ayah senang mendengar kata-katamu kali ini. Semoga di umur 17 kali ini kamu bisa menjadi lebih dewasa lagi, dan semakin rajin beribadah.” , kata ayah padaku.
                        “Amin ayah, semoga bisa seperti apa yang ayah dan ibu harapkan.” , kataku.
                        “Amin...” , kata ibu sambil tersenyum.
                        “Bolehkah Sarah buka hadiah ini?” tanyaku sambil tersenyum.
                        “Tentu saja boleh nak!” jawab ayah.
                        “Subhanaulloh, sebuah Al-Quran. Terimakasih ayah, terimakasih ibu.”
                        “Sama-sama nak” jawab mereka.
                        “Mungkin kado ayah dan ibu tidak seperti kado orang tua lain pada anaknya, namun ayah dan ibu hanya ingin kamu bisa mengunakan hadiah ini setiap hari. Dan sampai kapan pun, Al-Quran ini akan tetap bisa bermanfaat untukmu nak. Bahkan sampai ayah dan ibumu telah tiada. Hadiah sederhana ini akan tetap bermanfaat untukmu.” , kata ayah padaku.
                        “Iya ayah, setiap kali Sarah akan membaca Al-Quran ini. Sarah pasti akan ingat pada ayah dan ibu.” Kataku sambil tersenyum pada ayah dan ibu.

***

            Sehabis magrib hari ini, pertama kali aku membaca Al-Quran baruku. Tak lupa aku berdoa untuk ayah dan ibuku yang selama ini telah membuat hidupku bahagia dan berwarna. Mereka sungguh orangtua yang hebat dimataku. Terimakasih YaAllah, atas segala yang telah Engkau berikan pada hamba dihari ini. Rasa syukur selalu hamba rasakan, semoga hamba termaksud orang-orang yang selalu bersyukiur atas nikmat yang telah Engkau berikan.